Showing posts with label Islami. Show all posts
Showing posts with label Islami. Show all posts

Cara Mengisi Shaf yang Kosong Saat Shalat Berjamaah

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah dalam kesempatan ini saya masih bisa share tentang perkara shalat. Dalam hal ini adalah bagaimana mengisi shaf yang kosong. Kasus ini seringkali terjadi dan banyak sekali yang belum tahu aturannya. Nah, insyaAllah di kesempatan ini kita bahas hal tersebut.


Pada saat berada di tengah-tengah shalat berjamaah, tiba-tiba seorang makmum keluar dari barisan karena batal wudhunya, bagaimana cara makmum yang lain menutup shaf tersebut, baik yang berada di belakang atau samping di samping mamum yang batal tadi. Bagaimana cara kita bergeser untuk menutup shaf agar shalat tidak batal?



Merapatkan shaf adalah bagian dari pemenuhan kesempurnaan shalat. Begitu yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang muttafaq alaih. Dari hadits itu beberapa ulama memberikan hukum sunnah untuk merapatkan shaf makmum. Jadi, jika masih ada shaf yang kosong hendaknya kita mengisinya.

Bagaimana mengisi shaf yang kosong di tengah-tengah shalat? Apakah berjalan mengisi shaf yang di depan kita dibenarkan?

Berjalan mengisi shaf kosong ketika sudah masuk dalam shalat hukumnya boleh dan tidak membatalkan shalat. Penjelasan hukum ini bisa dilihat dalam kitab Syarh Sunan Abi Daud Lil Aini karya Syekh Badruddin Al-Aini hal. 240-241 ketika membahas hadits tentang sahabat Abu Bakrah yang ruku’ sebelum masuk pada barisan makmum

ุฃَู†َّ ุฃَุจَุง ุจَูƒْุฑَุฉَ ุฌَุงุกَ ูˆَุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฑَุงูƒِุนٌ، ูَุฑَูƒَุนَ ุฏُูˆู†َ ุงู„ุตَّูِّ ุซُู…َّ ู…َุดَู‰ ุฅِู„َู‰ ุงู„ุตَّูِّ ูَู„َู…َّุง ู‚َุถَู‰ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุตَู„َุงุชَู‡ُ، ู‚َุงู„َ: «ุฃَูŠُّูƒُู…ُ ุงู„َّุฐِูŠ ุฑَูƒَุนَ ุฏُูˆู†َ ุงู„ุตَّูِّ ุซُู…َّ ู…َุดَู‰ ุฅِู„َู‰ ุงู„ุตَّูِّ؟» ูَู‚َุงู„َ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑَุฉَ: ุฃَู†َุง، ูَู‚َุงู„َ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ: ุฒَุงุฏَูƒَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุญِุฑْุตًุง ูˆَู„َุง ุชَุนُุฏْ

"Sesungguhnya Abu Bakroh datang saat Rosululloh dalam keadaan ruku', lalu dia ruku' di luar shaf, kemudian berjalan menuju shaf. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selesai shalat, beliau bersabda: "Siapakah di antara kalian yang ruku di luar shaf kemudian berjalan masuk ke shaf?" Abu Bakrah menjawab; Saya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah menambahkan semangat untukmu melakukan kebaikan, dan jangan kamu mengulanginya lagi."  

Syekh Badruddin dalam sebagian penjelasannya mengenai hadits ini mengatakan.

ุฃู† ุงู„ู…ุดูŠ ุฅู„ู‰ ุงู„ุตู ุจุนุฏ ุงู„ุดุฑูˆุน ููŠ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุบูŠุฑ ู…ُูุณุฏ

Artinya : Berjalan menuju shaf setelah masuk dalam shalat tidaklah merusak/membatalkan shalat.

Walaupun demikian, kita harus tetap menjaga jumlah langkah kaki yang diambil ketika hendak mengisi shaf kosong itu. Hal ini disebabkan gerakan melangkah tidak termasuk dalam gerakan shalat dan harus dibatasi sampai 2 gerakan berurutan. Jika gerakannya sampai 3 kali atau lebih maka shalatnya batal karena termasuk gerakan yang banyak.

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji yang disusun oleh Dr. Musthafa Al-Khin dkk. hal 168 disebutkan

ุงู„ูุนู„ ุงู„ูƒุซูŠุฑ: ูˆุงู„ู…ู‚ุตูˆุฏ ุจู‡ ุงู„ูุนู„ ุงู„ู…ุฎุงู„ู ู„ุฃูุนุงู„ ุงู„ุตู„ุงุฉ، ุจุดุฑุท ุฃู† ูŠูƒุซุฑ ูˆูŠุชูˆุงู„ู‰، ู„ุฃู†ู‡ ูŠุชู†ุงูู‰ ู…ุน ู†ุธุงู… ุงู„ุตู„ุงุฉ، ูˆุถุงุจุท ุงู„ูƒุซุฑุฉ ุซู„ุงุซ ุญุฑูƒุงุช ูุตุงุนุฏุงً

Artinya : (termasuk yang membatalkan shalat) adalah gerakan yang banyak ; maksudnya adalah gerakan di luar gerakan shalat bila terhitung banyak dan berkesinambungan. Gerakan tersebut bisa membatalkan shalat karena bertentangan dengan aturan shalat. Batas hitungan banyak adalah tiga gerakan atau lebih.

Jadi, kita harus mengatur langkah kaki kita agar tidak sampai melangkah 3 kali yang terus-menerus. Cara yang bisa kita ambil adalah melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, kemudian, tanpa jeda, melangkahkan kaki kiri diletakkan pada posisi sejajar dengan kaki kanan. Setelah itu berhentilah sejenak. Kemudian ulangi langkah tersebut satu kali lagi agar lurus dengan shaf makmum yang lain. Langkah-langkah kaki itu dilakukan dengan agak pelan. Begitulah cara yang bisa diambil agar shalat kita tidak batal.

Hal ini sama juga dengan cara mengisi shaf di samping kita yang kosong, yang lebih dekat dengan imam. Namun jika ada, diutamakan makmum di belakang yang mengisi shaf kosong itu.
Bapak Kholil Lurrahman yang budiman, begitulah jawaban yang kami sampaikan. Mudah-mudahan jawaban tersebut dapat menambah pengetahuan kita tentang aturan dalam shalat berjamaah serta bisa menerapkannya.
Semoga semua ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin..

Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yang Dilakukan Rasulullah Saat Puasa dan Cuaca Panas


Kalau sedang berpuasa pasti merasakan tubuh menjadi panas.Selain itu, perasaan gerah, panas, dan rasa tidak nyaman kadang memang dipengaruhi oleh cuaca yang panas. Untuk mengatasinya, sejumlah cara bisa dilakukan mulai dari kekumur ringan, merebahkan diri di lantai yang sejuk, berteduh di balik pohon, atau bernaung pada bangunan tertentu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengalami puasa di saat panas terik matahari sedang menyengat. Beliau kemudian menyengarkan diri dengan air. Dalam kitab Muntaqal Akhbar min Ahaditsi Sayyidil Akhyar, Ibnu Taimiyah menukil hadits riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud.

ุนู† ุฃุจูŠ ุจูƒุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุนู† ุฑุฌู„ ู…ู† ุฃุตุญุงุจ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ "ุฑุฃูŠุช ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูŠุตุจ ุงู„ู…ุงุก ุนู„ู‰ ุฑุฃุณู‡ ู…ู† ุงู„ุญุฑ ูˆู‡ูˆ ุตุงุฆู…" ุฑูˆุงู‡ ุฃุญู…ุฏ ูˆุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ.

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman dari seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menuang air di atas kepalanya lantaran panas. Sementara beliau sedang berpuasa.”

Menguraikan hadits di atas, Muhammad bin Ali As-Syaukani dalam Nailul Authar mengatakan sebagai berikut.

ู‚ูˆู„ู‡ " ูŠุตุจ ุงู„ู…ุงุก ุนู„ู‰ ุฑุฃุณู‡" ุงู„ุฎ ููŠู‡ ุฏู„ูŠู„ ุนู„ู‰ ุฃู†ู‡ ูŠุฌูˆุฒ ู„ู„ุตุงุฆู… ุฃู† ูŠูƒุณุฑ ุงู„ุญุฑ ุจุตุจ ุงู„ู…ุงุก ุนู„ู‰ ุจุนุถ ุจุฏู†ู‡ ุฃูˆ ูƒู„ู‡ ูˆู‚ุฏ ุฐู‡ุจ ุงู„ู‰ ุฐู„ูƒ ุงู„ุฌู…ู‡ูˆุฑ ูˆู„ู… ูŠูุฑู‚ูˆุง ุจูŠู† ุงู„ุงุบุชุณุงู„ ุงู„ูˆุงุฌุจุฉ ูˆุงู„ู…ุณู†ูˆู†ุฉ ูˆุงู„ู…ุจุงุญุฉ.

Redaksi “menuang air di atas kepalanya” menjadi dalil atas kebolehan seorang yang sedang berpuasa menyegarkan diri saat cuaca panas dengan menuangkan air pada sebagian atau ke seluruh bagian tubuhnya.

Berdasar pada keterangan di atas, upaya menyegarkan tubuh yang sedang berpuasa saat panas menyengat bisa dilakukan misalnya dengan guyuran air ke bagian tubuh baik sebagian atau keseluruhan. Cara ini setidaknya bisa mengurangi beban orang yang berpuasa saat kepanasan tanpa mencederai atau membatalkan puasa.

Wallahu A’lam.

Semoga bermanfaat. Wassalamu'alaikum.

Sumber

Doa Orang Yang Mentraktir Takjil

Rasulullah SAW mengajarkan doa berbuka puasa kepada umatnya yang isinya penting untuk mengingatkan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi untuk berbuka tidak lain rezeki pemberian Allah SWT.

Selain itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa yang perlu dibaca oleh mereka yang mengajak orang lain untuk berbuka puasa bersamanya.


Sumber

Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim menyebutkan doa sebagai berikut.

ูˆู†ุฏุจ ู„ู„ู…ูุทุฑ ุนู†ุฏ ุงู„ุบูŠุฑ ุฃู† ูŠู‚ูˆู„ "ุฃูƒู„ ุทุนุงู…ูƒู… ุงู„ุฃุจุฑุงุฑ، ูˆุตู„ุช ุนู„ูŠูƒู… ุงู„ู…ู„ุงุฆูƒุฉ، ุฃูุทุฑ ุนู†ุฏูƒู… ุงู„ุตุงุฆู…ูˆู†" ูƒู…ุง ุตุญ ุจู‡ ุงู„ุฎุจุฑ. ูˆุฃู† ูŠุฃูƒู„ ู…ุนู‡ู… ู„ุฃู†ู‡ ุฃู„ูŠู‚ ุจุงู„ุชูˆุงุถุน، ูˆุฃุจู„ุบ ููŠ ุฌุจุฑ ู‚ู„ูˆุจู‡ู…

Orang yang mentraktir takjil dianjurkan membaca, “Akala tha’amakumul abrar, wa shallat ‘alaikumul mala’ikah, afthara ‘indakumus sha’imun, (orang-orang baik telah mengonsumsi makananmu, malaikat juga bershalawat untukmu, dan orang-orang berpuasa telah berbuka di dekatmu)”. Demikian sesuai hadits shahih.

Ia juga dianjurkan ikut makan takjil bersama mereka yang ditraktir. Karena kehadiran orang yang mentraktir di tengah-tengah mereka itu lebih dekat pada ketawadhu’an dan lebih menjaga perasaan mereka.

Anjuran terakhir ini menunjukkan bahwa berbagi takjil bukan berhenti pada mengajak orang lain untuk membatalkan puasa secara formal syara’. Artinya bukan sekadar masalah materi.

Anjuran itu juga menjangkau aspek kejiwaan agar mereka yang sedang memiliki kelonggaran rezeki menunjukkan empati terhadap mereka yang nasibnya sedang anjlok dengan berbuka puasa bersama mereka. Saran berbuka puasa bersama dengan mereka yang bernasib malang itu mendidik ketawadhu’an kalau bukan diniatkan riya. Wallahu A’lam.


Sekian. Wassalamualaikum.
Semoga bermanfaat.

Sumber

Seharian Tidur Saat Puasa, Apakah Dapat Pahala


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kita tahu, puasa itu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Menahan diri ini sepertinya lebih terasa di saat yang bersangkutan tengah berjaga dibandingkan sambil tidur. Apa benar demikian? Apakah menahan diri sambil tidur itu masih bisa disebut menahan diri?

Kalau dihitung-hitung seperti itu, maka Allah memiliki perhitungan yang lebih luas dengan penuh rahmatnya. Allah tetap memberikan pahala bagi orang puasa sambil tidur. 

Syekh Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan,

ูˆ ู„ุง ูŠุถุฑ ุงู„ู†ูˆู… ุงู„ู…ุณุชุบุฑู‚ ู„ู„ู†ู‡ุงุฑ ุนู„ู‰ ุงู„ุตุญูŠุญ ู„ุจู‚ุงุก ุฃู‡ู„ูŠุฉ ุงู„ุฎุทุงุจ ู…ุนู‡ ุฅุฐ ุงู„ู†ุงุฆู… ูŠุชู†ุจู‡ ุฅุฐุง ู†ุจู‡،ูˆู„ู‡ุฐุง ูŠุฌุจ ู‚ุถุงุก ุงู„ุตู„ุงุฉ ุงู„ูุงุฆุชุฉ ุจุงู„ู†ูˆู… ุฏูˆู† ุงู„ูุงุฆุชุฉ ุจุงู„ุฅุบู…ุงุก

Menurut pendapat yang shahih, tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.

Menerangkan komentar gurunya, Syekh Ali Syibromalisi mengatakan dalam Hasyiyahnya alan Nihayah,

ู„ุจู‚ุงุก ุฃู‡ู„ูŠุฉ ุงู„ุฎุทุงุจ ู…ุนู‡ ุฃูŠ ูˆูŠุซุงุจ ุนู„ู‰ ุตูŠุงู…ู‡ ู„ู„ุนู„ุฉ ุงู„ู…ุฐูƒูˆุฑุฉ

Redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’”, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu.

Namun tetap saja kita tidak boleh menyalahgunakan rahmat Allah yang luas itu, lalu memilih tidur seharian. Masih lebih baik kalau kita menghidupkan siang hari itu dengan baca Al-Quran, mengaji, dzikiran, sedekah, atau aktivitas yang disunahkan lainnya.

Di samping itu, kita juga masih memiliki kewajiban lain selama puasa, yakni menjalani aktivitas keseharian kita sebagaimana biasa. Petani berangkat ke sawah. Pegawai menuju kantor. Pelajar menuju sekolah. Pedagang menuju pasar. Puasa bukan alasan untuk tidur atau menurunkan tensi aktivitas harian. Pasalnya kita hidup bukan sekadar untuk pahala. Itu sudah urusan Allah. Tetapi kita juga memiliki kewajiban-kewajiban di luar puasa.

Namun demikian tidur masih lebih baik daripada terjaga lalu melakukan aktivitas yang benar-benar dapat membatalkan pahala puasa seperti dusta, ghibah, menghasut, menyudutkan orang atau kelompok lain. Atau pilihannya kita mengunci mulut saat berpuasa sambil melakukan kewajiban harian daripada tidur atau menjelek-jelekkan pihak lain.


Wallahu a’lam.

Sekian. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber

6 Orang Yang Boleh Buka Puasa di Siang Hari

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah puji syukur saya limpahkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah memberi saya kesempatan untuk share mengenai 'Orang-orang yang boleh berbuka puasa di siang hari'.








Makan, minum, dan hal lain yang membatalkan puasa, mesti diatur ketika kita memasuki bulan Ramadhan. Pasalnya semua yang dibolehkan siang dan malam di luar bulan Ramadhan, bisa jadi sebagiannya dilarang di siang hari di bulan Ramadhan. Larangan ini berlaku bagi mereka yang muslim, baligh, dan mampu untuk menahan ketentuan puasa.

Meskipun demikian, ada orang-orang yang masuk dalam pengecualian. Inilah enam orang yang disebutkan Syekh M Nawawi dalam Kasyifatu Saja. Mereka diizinkan secara syara’ untuk membatalkan puasanya.


ูŠุจุงุญ ุงู„ูุทุฑ ููŠ ุฑู…ุถุงู† ู„ุณุชุฉ ู„ู„ู…ุณุงูุฑ ูˆุงู„ู…ุฑูŠุถ ูˆุงู„ุดูŠุฎ ุงู„ู‡ุฑู… ุฃูŠ ุงู„ูƒุจูŠุฑ ุงู„ุถุนูŠู ูˆุงู„ุญุงู…ู„ ูˆู„ูˆ ู…ู† ุฒู†ุง ุฃูˆ ุดุจู‡ุฉ ูˆู„ูˆ ุจุบูŠุฑ ุขุฏู…ูŠ ุญูŠุซ ูƒุงู† ู…ุนุตูˆู…ุง ูˆุงู„ุนุทุดุงู† ุฃูŠ ุญูŠุซ ู„ุญู‚ู‡ ู…ุดู‚ุฉ ุดุฏูŠุฏุฉ ู„ุง ุชุญุชู…ู„ ุนุงุฏุฉ ุนู†ุฏ ุงู„ุฒูŠุงุฏูŠ ุฃูˆ ุชุจูŠุญ ุงู„ุชูŠู…ู… ุนู†ุฏ ุงู„ุฑู…ู„ูŠ ูˆู…ุซู„ู‡ ุงู„ุฌุงุฆุน ูˆู„ู„ู…ุฑุถุนุฉ ูˆู„ูˆ ู…ุณุชุฃุฌุฑุฉ ุฃูˆ ู…ุชุจุฑุนุฉ ูˆู„ูˆ ู„ุบูŠุฑ ุขุฏู…ูŠ


Untuk enam orang berikut ini, diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan. Mereka adalah pertama musafir, kedua orang sakit, ketiga orang jompo (tua yang tak berdaya), keempat wanita hamil (sekalipun hamil karena zina atau jimak syubhat [kendati wanita ini berjimak dengan selain manusia tetapi ma’shum]).

Kelima orang yang tercekik haus (sekira kesulitan besar menimpanya dengan catatan yang tak tertanggungkan pada lazimnya menurut Az-Zayadi, sulit yang membolehkan orang bertayamum menurut Ar-Romli)-serupa dengan orang yang tercekik haus ialah orang yang tingkat laparnya tidak terperikan-, dan keenam wanita menyusui baik diberikan upah atau suka rela (kendati menyusui bukan anak Adam, hewan peliharaan misalnya).

Agama memungkinan orang-orang ini terbebas dari kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Meskipun sebagian dari enam orang ini harus menggantinya di luar Ramadhan. Karena, kondisi yang dialami enam orang ini, dalam pandangan ulama, memungkinkan hilangnya kemampuan puasa dari yang bersangkutan saat Ramadhan. Artinya, agama tidak memaksakan mereka yang tidak mampu berpuasa.


Wallahu A’lam.

Sekian. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber

Keajaiban Matematika dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kitab yang berisikan firman-fiman Allah yang wajib kita yakini kebenarannya. Terkadang kita sendiri tidak menyadari betapa luar biasanya Allah dalam menciptakan Al-Qur'an. Satu per satu rahasia yang ada di dunia ini terungkap. Salah satunya adalah tentang matematika.

Ternyata di dalam Al-Quran banyak terdapat keajaiban matematis yang dapat membantu menjadi bukti. Keajaiban matematika ini dapat dianggap sebagai kebetulan, tetapi begitu tepatnya sampai-sampai secara matematis pun hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai kebetulan.

Perlu diketahui bahwa Al-Quran diturunkan kepada Rasulallah SAW secara perlahan-lahan, ayat-per ayat, sehingga membentuk surah per surah, sehingga menjadi Quran yang kita ketahui ini dalam kurun waktu 23 tahun. Dalam kurun tersebut, Al Quran “turun” dan menjadi sebuah kesatuan yang utuh, tanpa kesalahan dan tanpa pertentangan.

Di dalam ayat-ayatnya, Al Quran memuat beberapa keajaiban matematika yang tidak mungkin terjadi jika seorang manusia buta huruf, buta matematika “mengarangnya” selama 23 tahun, atau jika isinya sudah berubah-ubah. Mari kita simak apa saja keajaiban itu

1.) Kata Yang Berpasangan

Di dalam Al Quran, saat Allah menyebut sesuatu, Allah terkadang menyebut pasangan atau lawan kata dari sesuatu itu dalam jumlah yang sama. Contohnya antara lain seperti berikut ini.

Kata yang berpasangan
Sumber

Yang pertama, kata ‘Dunya’ (dunia) dan ‘akhira’ (akherat) disebutkan dalam jumlah yang sama: 115 kali. Kata ‘Shaitan’ (setan) dan ‘malaika’ (malaikat) disebutkan dalam jumlah yang sama: 88 kata. ‘Iman’ dan ‘Kufr’ (kafir) disebutkan dalam jumlah yang sama: 25 kali. Kata ‘surga’ dan ‘neraka’ pun jumlahnya sama: 77 kali

Allah berfirman bahwa perumpamaan penciptaan Isa (Yesus) adalah sama dengan penciptaan Adam. Setelah diteliti nama Isa disebutkan di dalam Quran sebanyak 25 kali, begitu juga dengan nama Adam.
Kata ‘lelaki’ dan ‘perempuan’ disebutkan dalam jumlah yang sama: 23 kali. Dari jumlah yang sama 23 ini, ternyata kita menemukan bahwa jumlah kromosom yang ada pada manusia adalah 46. Yaitu 23 dari sperma (ayah), dan 23 dari ibu (sel telur)

2.) Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur'an

Menurut beberapa ulama yang meneliti keajaiban matematis dalam Qur'an, mereka menemukan bahwa angka “19”, adalah seperti signature dari Allah untuk memberi tahu manusia terhadap keabsahan sentuhannya. Seperti seniman yang memiliki tanda khusus pada karya-karyanya.
 
Keajaiban Angka 19 dalam Quran
Sumber

Kata “Allah” muncul di Qur'an sebanyak 2698, yang merupakan hasil dari 19×142. Ayat-ayat yang mengandung kata “Allah” jika dijumlahkan berjumlah 118123 atau 19×6217 Kalimat pertama di dalam Quran, yaitu “basmalah”, terdiri dari 19 huruf. Quran terdiri dari 114 surah, yang merupakan 19×6

Jumlah total ayat Qur'an adalah 6346 (19×334). Perhatikan juga angka 6346 jika dipecah 6+3+4+6= 19.

Ayat pertama yang diterima Rasullallah yaitu Quran 58:1-5 total berjumlah 19 kata. Ayat pertama yang berjumlah 19 kata, jika dipecah berisi 76 huruf, yang merupakan hasil dari 19×4

Surah terakhir yang diturunkan Allah kepada Rasulallah (surah 110) terdiri dari 19 kata. Dan ayat pertama dari surah itu pun terdiri dari 19 huruf

Semua kenyataan ini menjadi menakjubkan ketika ternyata angka 19 ini pun digunakan Allah di dalam alam semesta ini seperti matahari, bulan, dan bumi yang menjadi lurus segaris setiap 19 tahun, Komet Halley yang lewat setiap 76 tahun sekali (19×4), dan fakta bahwa tubuh manusia memiliki 209 tulang, yaitu 19×11. Ingat juga bahwa lama kehamilan setelah pembuahan adalah 266 hari, atau 38 minggu. Kedua angka ini pun bisa dibagi dengan 19.

Masih banyak rahasia Al Quran yang belum dapat kami muat seluruhnya, tetapi fakta-fakta ‘sederhana’ ini cukup mengagumkan. Orang bisa saja berkata, bahwa angka-angka atau fakta ini hanya kebetulan belaka.

Tapi bayangkan adakah orang yang berbicara selama 23 tahun, tetapi seluruh perkataannya yang dicatat tepat mengatakan ‘lelaki’ dan ‘perempuan’ dalam jumlah yang sepadan, tepat mengatakan kata ‘hari’ dalam jumlah 365? Di dunia ini tidak ada satu manusia pun yang bisa melakukannya! Bayangkan juga ketika seseorang menjelaskan kejadian alam dengan akurat sesuai science modern, padahal belum ada pengetahuan apapun yang bisa menjelaskan tentang hal itu sebelumnya!

Sekian. Semoga bermanfaat.

Sumber

Tentang Pengucapan Lafaz 'Sayyidina' dalam Shalawat Nabi


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Pada kesempatan kali ini, alhamdulillah saya masih bisa berbagi ilmu. Kali ini kita akan membahas pengucapan kata 'Sayyidina' dalam Shalawat Nabi, yang memang banyak sekali pendapat bermunculan membahas hal tersebut. Pengucapan kata 'Sayyidina' ini membuat pendapat masyarakat yang berbeda.
Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:
ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ุนَู„َู‰ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูƒَู…َุง ุตَู„َّูŠْุชَ ุนَู„َู‰ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ุฅِู†َّูƒَ ุญَู…ِูŠุฏٌ ู…َุฌِูŠุฏٌ ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุจَุงุฑِูƒْ ุนَู„َู‰ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูƒَู…َุง ุจَุงุฑَูƒْุชَ ุนَู„َู‰ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ุฅِู†َّูƒَ ุญَู…ِูŠุฏٌ ู…َุฌِูŠุฏ
 (H.R. Bukhari [2]  dan Ahmad [3])

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan : 
Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”[4]

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[5] Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
 “Berkata pengarang  kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[6]

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.[7]
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :
1.      Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
 
 “Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”[8]
Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:
ุฃَู†َุง ุณَูŠِّุฏُ ูˆَู„َุฏِ ุขุฏَู…َ ูŠَูˆْู…َ ุงู„ْู‚ِูŠَุงู…َุฉِ ูˆَุฃَูˆَّู„ُ ู…َู†ْ ูŠَู†ْุดَู‚ُّ ุนَู†ْู‡ُ ุงู„ْู‚َุจْุฑُ ูˆَุฃَูˆَّู„ُ ุดَุงูِุนٍ ูˆَุฃَูˆَّู„ُ ู…ُุดَูَّุนٍ
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.[10]

            Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.
2.      Hadits Abu Sa’id, berkata :
ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆ ุณู„ู… ุฃู†ุง ุณูŠุฏ ูˆู„ุฏ ุขุฏู… ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ูˆู„ุง ูุฎุฑ
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R. Turmidzi)[11]

Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :
1.      Sabda Rasulullah SAW :
 ู„ุงَ ุชُุณَูŠِّุฏُูˆู†ِูŠ ูِูŠ ุงู„ุตَّู„ุงَุฉِ
Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita : 
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ ุณَุงุฏَ – ูŠَุณُูˆْุฏُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ ู„ุงَ ุชُุณَูˆِّุฏُูˆْู†ِูŠ “ dan bukanlah dengan “ ู„ุงَ ุชُุณَูŠِّุฏُูˆู†ِูŠ “ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.[13]
            Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.


2. Sabda Rasulullah SAW,

ู„ุงَ ุชُุทْุฑُูˆู†ِูŠ ูƒَู…َุง ุฃَุทْุฑَุชِ ุงู„ู†َّุตَุงุฑَู‰ ุงุจْู†َ ู…َุฑْูŠَู…َ ูَุฅِู†َّู…َุง ุฃَู†َุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูَู‚ُูˆู„ُูˆุง ุนَุจْุฏُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุฑَุณُูˆู„ُู‡
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)[14]

            Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”
Jawab kita :
            Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,  ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat


3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :
ุฃู† ุฑุฌู„ุง ู‚ุงู„ ูŠุง ู…ุญู…ุฏ ูŠุง ุณูŠุฏู†ุง ูˆุจู† ุณูŠุฏู†ุง ูˆุฎูŠุฑู†ุง ูˆุจู† ุฎูŠุฑู†ุง ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆ ุณู„ู… : ูŠุง ุฃูŠู‡ุง ุงู„ู†ุงุณ ุนู„ูŠูƒู… ุจุชู‚ูˆุงูƒู… ูˆู„ุง ูŠุณุชู‡ูˆูŠู†ูƒู… ุงู„ุดูŠุทุงู† ุฃู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ูˆุฑุณูˆู„ู‡ ูˆุงู„ู„ู‡ ู…ุง ุฃุญุจ ุฃู† ุชุฑูุนูˆู†ูŠ ููˆู‚ ู…ู†ุฒู„ุชูŠ ุงู„ุชูŠ ุฃู†ุฒู„ู†ูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนุฒ ูˆ ุฌู„ 
Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]

 Jawab kita :
Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi, 
Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

            Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :
ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ุนَู„َู‰ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูƒَู…َุง ุตَู„َّูŠْุชَ ุนَู„َู‰ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ุฅِู†َّูƒَ ุญَู…ِูŠุฏٌ ู…َุฌِูŠุฏٌ ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุจَุงุฑِูƒْ ุนَู„َู‰ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูƒَู…َุง ุจَุงุฑَูƒْุชَ ุนَู„َู‰ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ، ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ุฅِู†َّูƒَ ุญَู…ِูŠุฏٌ ู…َุฌِูŠุฏ
(H.R. Bukhari)[17]
Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :
ุตู„ูˆุง ูƒู…ุง ุฑุฃูŠุชู…ูˆู†ูŠ ุฃุตู„ูŠ
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :  
      
ูƒู†ุง ูŠูˆู…ุง ู†ุตู„ูŠ ูˆุฑุงุก ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…، ูู„ู…ุง ุฑูุน ุฑุฃุณู‡ ู…ู† ุงู„ุฑูƒุนุฉ، ู‚ุงู„: ุณู…ุน ุงู„ู„ู‡ ู„ู…ู† ุญู…ุฏู‡. ู‚ุงู„ ุฑุฌู„ ูˆุฑุงุกู‡: ุฑุจู†ุง ูˆู„ูƒ ุงู„ุญู…ุฏ، ุญู…ุฏุง ุทูŠุจุง ู…ุจุงุฑูƒุง ููŠู‡. ูู„ู…ุง ุงู†ุตุฑู، ู‚ุงู„: ู…ู† ุงู„ู…ุชูƒู„ู… ู‚ุงู„: ุฃู†ุง، ู‚ุงู„: ุฑุฃูŠุช ุจุถุนุฉ ูˆุซู„ุงุซูŠู† ู…ู„ูƒุง ูŠุจุชุฏุฑูˆู†ู‡ุง، ุฃูŠู‡ู… ูŠูƒุชุจู‡ุง ุฃูˆู„.
Artinya :  Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan  pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]

            Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan : 
Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]
           
            Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud[20] yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]
            Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah
ุญَุฏَّุซَู†َุง ู…َุงู„ِูƒٌ ุฃَุชَูŠْู†َุง ุฅِู„َู‰ ุงู„ู†َّุจِูŠِّ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆَู†َุญْู†ُ ุดَุจَุจَุฉٌ ู…ُุชَู‚َุงุฑِุจُูˆู†َ ูَุฃَู‚َู…ْู†َุง ุนِู†ْุฏَู‡ُ ุนِุดْุฑِูŠู†َ ูŠَูˆْู…ًุง ูˆَู„َูŠْู„َุฉً ، ูˆَูƒَุงู†َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฑَุญِูŠู…ًุง ุฑَูِูŠู‚ًุง ูَู„َู…َّุง ุธَู†َّ ุฃَู†َّุง ู‚َุฏِ ุงุดْุชَู‡َูŠْู†َุง ุฃَู‡ْู„َู†َุง ، ุฃَูˆْ ู‚َุฏِ ุงุดْุชَู‚ْู†َุง ุณَุฃَู„َู†َุง ุนَู…َّู†ْ ุชَุฑَูƒْู†َุง ุจَุนْุฏَู†َุง ูَุฃَุฎْุจَุฑْู†َุงู‡ُ ู‚َุงู„َ ุงุฑْุฌِุนُูˆุง ุฅِู„َู‰ ุฃَู‡ْู„ِูŠูƒُู…ْ ูَุฃَู‚ِูŠู…ُูˆุง ูِูŠู‡ِู…ْ ูˆَุนَู„ِّู…ُูˆู‡ُู…ْ ูˆَู…ُุฑُูˆู‡ُู…ْ - ูˆَุฐَูƒَุฑَ ุฃَุดْูŠَุงุกَ ุฃَุญْูَุธُู‡َุง ، ุฃَูˆْ ู„ุงَ ุฃَุญْูَุธُู‡َุง - ูˆَุตَู„ُّูˆุง ูƒَู…َุง ุฑَุฃَูŠْุชُู…ُูˆู†ِูŠ ุฃُุตَู„ِّูŠ ูَุฅِุฐَุง ุญَุถَุฑَุชِ ุงู„ุตَّู„ุงَุฉُ ูَู„ْูŠُุคَุฐِّู†ْ ู„َูƒُู…ْ ุฃَุญَุฏُูƒُู…ْ ูˆَู„ْูŠَุคُู…َّูƒُู…ْ ุฃَูƒْุจَุฑُูƒُู…ْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri22[22] dan  Syafi’i)[23]

                 Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a.  Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b.   Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya  tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat seperti  perkataan sayyidina dalam tasyahud.

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.
Jawab kita :
            Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24] Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan  Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
ุนَู†ْ ุณَู‡ْู„ِ ุจْู†ِ ุณَุนْุฏٍ ุงู„ุณَّุงุนِุฏِูŠِّ ุฃَู†َّ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุฐَู‡َุจَ ุฅِู„َู‰ ุจَู†ِูŠ ุนَู…ْุฑِูˆ ุจْู†ِ ุนَูˆْูٍ ู„ِูŠُุตْู„ِุญَ ุจَูŠْู†َู‡ُู…ْ ูَุญَุงู†َุชِ ุงู„ุตَّู„َุงุฉُ ูَุฌَุงุกَ ุงู„ْู…ُุคَุฐِّู†ُ ุฅِู„َู‰ ุฃَุจِูŠ ุจَูƒْุฑٍ ูَู‚َุงู„َ: ุฃَุชُุตَู„ِّูŠ ุจِุงู„ู†َّุงุณِ ูَุฃُู‚ِูŠู…ُ؟ ู‚َุงู„َ: ู†َุนَู…ْ، ู‚َุงู„َ ูَุตَู„َّู‰ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ูَุฌَุงุกَ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูˆَุงู„ู†َّุงุณُ ูِูŠ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ ูَุชَุฎَู„َّุตَ ุญَุชَّู‰ ูˆَู‚َูَ ูِูŠ ุงู„ุตَّูِّ، ูَุตَูَّู‚َ ุงู„ู†َّุงุณُ ูˆَูƒَุงู†َ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ู„َุง ูŠَู„ْุชَูِุชُ ูِูŠ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ، ูَู„َู…َّุง ุฃَูƒْุซَุฑَ ุงู„ู†َّุงุณُ ุงู„ุชَّุตْูِูŠู‚َ ุงู„ْุชَูَุชَ ูَุฑَุฃَู‰ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูَุฃَุดَุงุฑَ ุฅِู„َูŠْู‡ِ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุฃَู†ِ ุงู…ْูƒُุซْ ู…َูƒَุงู†َูƒَ، ูَุฑَูَุนَ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ูŠَุฏَูŠْู‡ِ ูَุญَู…ِุฏَ ุงู„ู„ู‡َ ุนَุฒَّ ูˆَุฌَู„َّ ุนَู„َู‰ ู…َุง ุฃَู…َุฑَู‡ُ ุจِู‡ِ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ู…ِู†ْ ุฐَู„ِูƒَ، ุซُู…َّ ุงุณْุชَุฃْุฎَุฑَ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ุญَุชَّู‰ ุงุณْุชَูˆَู‰ ูِูŠ ุงู„ุตَّูِّ، ูˆَุชَู‚َุฏَّู…َ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูَุตَู„َّู‰، ุซُู…َّ ุงู†ْุตَุฑَูَ ูَู‚َุงู„َ: «ูŠَุง ุฃَุจَุง ุจَูƒْุฑٍ ู…َุง ู…َู†َุนَูƒَ ุฃَู†ْ ุชَุซْุจُุชَ ุฅِุฐْ ุฃَู…َุฑْุชُูƒَ» ู‚َุงู„َ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ: ู…َุง ูƒَุงู†َ ู„ِุงุจْู†ِ ุฃَุจِูŠ ู‚ُุญَุงูَุฉَ ุฃَู†ْ ูŠُุตَู„ِّูŠَ ุจَูŠْู†َ ูŠَุฏَูŠْ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ، ูَู‚َุงู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ: «ู…َุง ู„ِูŠ ุฑَุฃَูŠْุชُูƒُู…ْ ุฃَูƒْุซَุฑْุชُู…ُ ุงู„ุชَّุตْูِูŠู‚َ؟ ู…َู†ْ ู†َุงุจَู‡ُ ุดَูŠْุกٌ ูِูŠ ุตَู„َุงุชِู‡ِ ูَู„ْูŠُุณَุจِّุญْ ูَุฅِู†َّู‡ُ ุฅِุฐَุง ุณَุจَّุญَ ุงู„ْุชُูِุชَ ุฅِู„َูŠْู‡ِ ูˆَุฅِู†َّู…َุง ุงู„ุชَّุตْูِูŠุญُ ู„ِู„ู†ِّุณَุงุกِ»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita." (H.R. Muslim[25] dan Bukhari[26])

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud [27]
Mari kita sikapi dan hormati setiap ijtihad para ulama, mana yang kita yakini itu semua adalah benar walaupun kebenarannya adalah zanni, namu yang perlu kita ketahui adalah kalau Anda tidak mau mengerjakan sesuatu yang tidak berada dalam iktikaf para ulama itu adalah hak Anda. Namun jangan pernah MEMVONIS dan MENYALAHKAN tentang keabsahan pengucapan lafal "Sayyidina".

dari hadis berikut:
ุฅِุฐَุง ุงِุฌْุชَู‡َุฏَ ุงู„ْุญَุงูƒِู… ูَุฃَุตَุงุจَ ูَู„َู‡ُ ุฃَุฌْุฑَุงู†ِ ، ูˆَุฅِุฐَุง ุงِุฌْุชَู‡َุฏَ ูَุฃَุฎْุทَุฃَ ูَู„َู‡ُ ุฃَุฌْุฑ
 
Artinya : Seorang hakim apabila berijtihad, ternyata ijtihadnya benar, maka mendapat dua pahala dan kalau berijtihad, ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat satu pahala.(H.R. Bukhari dan Muslim) 
Berdasarkan hadis di atas, kalau ternyata ijtihad ulama tersebut salah pada hakikatnya di hadapan Allah, maka tetap mendapat pahala, alias tidak berdosa meskipun pahalanya tidak sama dgn pahala orang berijtihad dan benar. 
 
Wallau 'alam..
Sekian. Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum.



[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 188
[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[6] Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181
[7] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079
[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37
[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148
[12] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445
[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz. XXIII, Hal. 441
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153, No. Hadits : 12573
[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[18] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937
[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah  Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad,  Mesir, Juz. II, Hal. 86
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 316,  No. Hadits : 421
[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 684
[27] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal. 133-134