Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Pada kesempatan kali ini, alhamdulillah saya masih bisa berbagi ilmu. Kali ini kita akan membahas pengucapan kata 'Sayyidina' dalam Shalawat Nabi, yang memang banyak sekali pendapat bermunculan membahas hal tersebut. Pengucapan kata 'Sayyidina' ini membuat pendapat masyarakat yang berbeda.
Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud
akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah
sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah. Adapun
lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan
oleh Rasulullah SAW adalah:
ุงَُّูููู
َّ ุตَِّู ุนََูู ู
ُุญَู
َّุฏٍ ، َูุนََูู ุขِู ู
ُุญَู
َّุฏٍ َูู
َุง ุตََّْููุชَ
ุนََูู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ، َูุนََูู ุขِู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ุฅََِّูู ุญَู
ِูุฏٌ ู
َุฌِูุฏٌ
ุงَُّูููู
َّ ุจَุงุฑِْู ุนََูู ู
ُุญَู
َّุฏٍ ، َูุนََูู ุขِู ู
ُุญَู
َّุฏٍ َูู
َุง ุจَุงุฑَْูุชَ
ุนََูู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ، َูุนََูู ุขِู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ุฅََِّูู ุญَู
ِูุฏٌ ู
َุฌِูุฏ
(H.R. Bukhari dan Ahmad )
Para ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada
lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab
Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat
yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan
santun.”
Ulama
Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam
shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi,
al-Halaby, dan lainnya. Sedangkan dari kitab
ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya
Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
“Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan
sayyidina.”
Pendapat yang
senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu
Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain
:
1.
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan
oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk
amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan
kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad
al-Bajuri menyatakan:
“Pengucapan “sayyidina” merupakan
sikap sopan santun.”
Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:
ุฃََูุง ุณَِّูุฏُ ََููุฏِ ุขุฏَู
َ َْููู
َ ุงَِْูููุงู
َุฉِ
َูุฃََُّูู ู
َْู َْููุดَُّู ุนَُْูู ุงَْููุจْุฑُ َูุฃََُّูู ุดَุงِูุนٍ َูุฃََُّูู ู
ُุดََّูุนٍ
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu)
anak adam pada hari kiamat. Orang
pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan
orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).
Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di
akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari
akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid
manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi
dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
“Adapun sabda
Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia
maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau
itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan
seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir
dan dakwaan orang musyrik”.
Berdasarkan
pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam
shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.
2.
Hadits Abu Sa’id, berkata :
ูุงู ุฑุณูู
ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ู ุณูู
ุฃูุง ุณูุฏ ููุฏ ุขุฏู
ููู
ุงูููุงู
ุฉ ููุง ูุฎุฑ
Artinya : Rasulullah SAW bersabda,
Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R.
Turmidzi)
Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat
Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan
tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan
berargumentasi antara lain :
1.
Sabda Rasulullah SAW :
ูุงَ ุชُุณَِّูุฏُِููู ِูู
ุงูุตَّูุงَุฉِ
Artinya : Janganlah kalian mengucapkan
kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.
Jawab kita :
Hadits ini tidak
memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal
yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling
fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“
berasal dari kata “ ุณَุงุฏَ – َูุณُْูุฏُ
“ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan
redaksi “ ูุงَ ุชُุณَِّูุฏُِْููู
“ dan bukanlah dengan “ ูุงَ ุชُุณَِّูุฏُِููู
“ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan
kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana
telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”
Senada dengan pernyataan di atas juga
disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.
Dengan
demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.
2. Sabda
Rasulullah SAW,
ูุงَ
ุชُุทْุฑُِููู َูู
َุง ุฃَุทْุฑَุชِ ุงَّููุตَุงุฑَู ุงุจَْู ู
َุฑَْูู
َ َูุฅَِّูู
َุง ุฃََูุง ุนَุจْุฏُُู
َُُูููููุง ุนَุจْุฏُ ุงِููู َูุฑَุณُُููู
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku
sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini
seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)
Mereka
mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan.
Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”
Jawab kita :
Larangan
pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani
kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai
tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan
dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah
mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan
Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum
Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,
ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar
lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir
hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana
sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan
lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka
itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”
Dengan demikian, hadits ini tidak
tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik
dalam dalam shalat maupun luar shalat
3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :
ุฃู ุฑุฌูุง
ูุงู ูุง ู
ุญู
ุฏ ูุง ุณูุฏูุง ูุจู ุณูุฏูุง ูุฎูุฑูุง ูุจู ุฎูุฑูุง ููุงู ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ู
ุณูู
: ูุง ุฃููุง ุงููุงุณ ุนูููู
ุจุชููุงูู
ููุง ูุณุชูููููู
ุงูุดูุทุงู ุฃูุง ู
ุญู
ุฏ ุจู ุนุจุฏ ุงููู
ุนุจุฏ ุงููู ูุฑุณููู ูุงููู ู
ุง ุฃุญุจ ุฃู ุชุฑูุนููู ููู ู
ูุฒูุชู ุงูุชู ุฃูุฒููู ุงููู ุนุฒ ู ุฌู
Artinya : Seorang lelaki telah
datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak
Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di
kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa
dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah
Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku
tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza
wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)
Jawab kita :
Memperhatikan ujung
hadits ini yang berbunyi,
“ Demi Allah bahwasanya aku tidak
suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa
Jalla tentukan bagiku”
Dan
hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :
“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”
Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada
Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang
telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri
mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid
bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang
memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat
Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung
Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni
kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan
konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana
sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba,
maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Pemahaman hadits ini telah
dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat
Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.
4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara
bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat
yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :
ุงَُّูููู
َّ ุตَِّู ุนََูู ู
ُุญَู
َّุฏٍ
، َูุนََูู ุขِู ู
ُุญَู
َّุฏٍ َูู
َุง ุตََّْููุชَ ุนََูู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ، َูุนََูู ุขِู
ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ุฅََِّูู ุญَู
ِูุฏٌ ู
َุฌِูุฏٌ ุงَُّูููู
َّ ุจَุงุฑِْู ุนََูู ู
ُุญَู
َّุฏٍ ،
َูุนََูู ุขِู ู
ُุญَู
َّุฏٍ َูู
َุง ุจَุงุฑَْูุชَ ุนََูู ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ، َูุนََูู ุขِู
ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ุฅََِّูู ุญَู
ِูุฏٌ ู
َุฌِูุฏ
Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam
shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam
shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan
Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula
Rasulullah SAW pernah bersabda :
ุตููุง ูู
ุง ุฑุฃูุชู
ููู ุฃุตูู
Artinya : Shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat
Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam
shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal
ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
ููุง ููู
ุง ูุตูู ูุฑุงุก ุงููุจู ุตูู
ุงููู ุนููู ูุณูู
، ููู
ุง ุฑูุน ุฑุฃุณู ู
ู ุงูุฑูุนุฉ، ูุงู: ุณู
ุน ุงููู ูู
ู ุญู
ุฏู. ูุงู ุฑุฌู ูุฑุงุกู:
ุฑุจูุง ููู ุงูุญู
ุฏ، ุญู
ุฏุง ุทูุจุง ู
ุจุงุฑูุง ููู. ููู
ุง ุงูุตุฑู، ูุงู: ู
ู ุงูู
ุชููู
ูุงู: ุฃูุง،
ูุงู: ุฑุฃูุช ุจุถุนุฉ
ูุซูุงุซูู ู
ููุง ูุจุชุฏุฑูููุง، ุฃููู
ููุชุจูุง ุฃูู.
Artinya : Dari Rifa’ah bin
Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi
SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata :
“Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau :
“Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah
selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu
menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih
malaikat yang berebutan pertama kali
menulis amalnya”. (H.R. Bukhari)
Dalam hadits di atas, seorang
sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya
dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah
shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama
tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di
atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats
(mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat
apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.
Berdasarkan pemahaman ini, maka
dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir
dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan
“wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau
dalam hadits Abu Daud
yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.
Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu
Qilabah
ุญَุฏَّุซََูุง
ู
َุงٌِูู ุฃَุชََْููุง ุฅَِูู ุงَّููุจِِّู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ََููุญُْู ุดَุจَุจَุฉٌ
ู
ُุชََูุงุฑِุจَُูู َูุฃََูู
َْูุง ุนِْูุฏَُู ุนِุดْุฑَِูู َْููู
ًุง َََْููููุฉً ، ََููุงَู
ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุฑَุญِูู
ًุง ุฑًَِูููุง ََููู
َّุง ุธََّู ุฃََّูุง َูุฏِ
ุงุดْุชَََْูููุง ุฃَََْูููุง ، ุฃَْู َูุฏِ ุงุดْุชََْููุง ุณَุฃَََููุง ุนَู
َّْู ุชَุฑََْููุง
ุจَุนْุฏََูุง َูุฃَุฎْุจَุฑَْูุงُู َูุงَู ุงุฑْุฌِุนُูุง ุฅَِูู ุฃَُِْููููู
ْ َูุฃَِููู
ُูุง ِِูููู
ْ
َูุนَِّูู
ُُููู
ْ َูู
ُุฑُُููู
ْ - َูุฐََูุฑَ ุฃَุดَْูุงุกَ ุฃَุญَْูุธَُูุง ، ุฃَْู ูุงَ
ุฃَุญَْูุธَُูุง - َูุตَُّููุง َูู
َุง ุฑَุฃَْูุชُู
ُِููู ุฃُุตَِّูู َูุฅِุฐَุง ุญَุถَุฑَุชِ
ุงูุตَّูุงَุฉُ َُْูููุคَุฐِّْู َُููู
ْ ุฃَุญَุฏُُูู
ْ ََْูููุคُู
َُّูู
ْ ุฃَْูุจَุฑُُูู
ْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal
bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan
umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu
beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya
kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun
memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu
dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah
mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain
yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: "
Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang,
maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu
menjadi imam”. (H.R. Bukahri22
dan Syafi’i)
Sebagaimana
dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW
tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan
kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian
berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW
bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Lalu sekarang
muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan
perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah
melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW
tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam
shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut
mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau,
apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan)
dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu
yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh,
mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah
”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak
memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini,
tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi
makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas
tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat
seperti perkataan sayyidina dalam
tasyahud.
5. Ada sebagian kaum muslimin yang
berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan
perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut
bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad
tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana
disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.
Jawab kita :
Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam
hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan
tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini
termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada
beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah,
sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.
Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih
dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu
Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak
mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap
mundur dari imam mempersilakan Rasulullah
SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah
Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana
tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
ุนَْู ุณَِْูู ุจِْู ุณَุนْุฏٍ ุงูุณَّุงุนِุฏِِّู ุฃََّู ุฑَุณَُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู
ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ุฐََูุจَ ุฅَِูู ุจَِูู ุนَู
ْุฑِู ุจِْู ุนٍَْูู ُِููุตِْูุญَ ุจََُْูููู
ْ
َูุญَุงَูุชِ ุงูุตََّูุงุฉُ َูุฌَุงุกَ ุงْูู
ُุคَุฐُِّู ุฅَِูู ุฃَุจِู ุจَْูุฑٍ ََููุงَู:
ุฃَุชُุตَِّูู ุจِุงَّููุงุณِ َูุฃُِููู
ُ؟ َูุงَู: َูุนَู
ْ، َูุงَู َูุตََّูู ุฃَุจُู ุจَْูุฑٍ
َูุฌَุงุกَ ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุงَّููุงุณُ ِูู ุงูุตََّูุงุฉِ
َูุชَุฎََّูุตَ ุญَุชَّู َََููู ِูู ุงูุตَِّّู، َูุตَََّูู ุงَّููุงุณُ ََููุงَู ุฃَุจُู ุจَْูุฑٍ
َูุง َْููุชَِูุชُ ِูู ุงูุตََّูุงุฉِ، ََููู
َّุง ุฃَْูุซَุฑَ ุงَّููุงุณُ ุงูุชَّุตَِْููู
ุงْูุชََูุชَ َูุฑَุฃَู ุฑَุณَُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุฃَุดَุงุฑَ
ุฅَِِْููู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ุฃَِู ุงู
ُْูุซْ ู
ََูุงََูู،
َูุฑََูุนَ ุฃَุจُู ุจَْูุฑٍ َูุฏَِْูู َูุญَู
ِุฏَ ุงَููู ุนَุฒَّ َูุฌََّู ุนََูู ู
َุง ุฃَู
َุฑَُู
ุจِِู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ู
ِْู ุฐََِูู، ุซُู
َّ
ุงุณْุชَุฃْุฎَุฑَ ุฃَุจُู ุจَْูุฑٍ ุญَุชَّู ุงุณْุชََูู ِูู ุงูุตَِّّู، َูุชََูุฏَّู
َ ุงَّููุจُِّู
ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุตََّูู، ุซُู
َّ ุงْูุตَุฑََู ََููุงَู: «َูุง ุฃَุจَุง
ุจَْูุฑٍ ู
َุง ู
ََูุนََู ุฃَْู ุชَุซْุจُุชَ ุฅِุฐْ ุฃَู
َุฑْุชَُู» َูุงَู ุฃَุจُู ุจَْูุฑٍ: ู
َุง
َูุงَู ِูุงุจِْู ุฃَุจِู ُูุญَุงَูุฉَ ุฃَْู ُูุตََِّูู ุจََْูู َูุฏَْู ุฑَุณُِูู ุงِููู ุตََّูู
ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ، ََููุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู
َูุณََّูู
َ: «ู
َุง ِูู ุฑَุฃَْูุชُُูู
ْ ุฃَْูุซَุฑْุชُู
ُ ุงูุชَّุตَِْููู؟ ู
َْู َูุงุจَُู ุดَْูุกٌ
ِูู ุตََูุงุชِِู َُْูููุณَุจِّุญْ َูุฅَُِّูู ุฅِุฐَุง ุณَุจَّุญَ ุงْูุชُِูุชَ ุฅَِِْููู
َูุฅَِّูู
َุง ุงูุชَّุตِْููุญُ ِِّูููุณَุงุกِ»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi,
bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk
menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada
seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau
memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar
menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian
datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu
beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat
dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan
shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata
dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya:
'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji
Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan
masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat.
Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang
menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu
Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin
shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa
kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada
kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan
tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita."
(H.R. Muslim
dan Bukhari)
Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits
shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada
tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih
utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina”
yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud
kalau Anda tidak mau mengerjakan sesuatu yang tidak berada dalam iktikaf para ulama itu adalah hak Anda. Namun jangan pernah MEMVONIS dan MENYALAHKAN tentang keabsahan pengucapan lafal "Sayyidina".
Wallau 'alam..
Sekian. Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum.
Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153,
No. Hadits : 12573